Salah satu komitmen saya belakangan ini adalah berusaha untuk sholat tepat waktu, meninggalkan apa pun pekerjaan yang sedang dilakukan, dan bergegas memenuhi panggilan adzan. Walau sering juga gagal, namun saya berusaha untuk tidak kapok.
Ibarat seorang anak yang baru belajar jalan, saya tidak akan kapok hanya karena setiap kali berjalan, saya jatuh terjengkang, terduduk, terjerembab, dan berbagai jenis jatuh lainnya. Saya terus berusaha memenuhi komitmen itu. Mengapa?
Jawabannya rada klasik, yaitu meniru jawaban Baginda Rasulullah SAW, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?” Jawaban lainnya, saya tidak ingin membuat setan bahagia, dengan menimbulkan perasaan putus asa di hati saya, untuk menjadi orang baik. Jadi, saya terus berusaha jatuh bangun untuk menjaga komitmen. Komitmen tersebut juga termasuk ketika berada di perjalanan. Dan ini termasuk yang paling sulit untuk dipenuhi.
Suatu ketika, saat sedang mencari-cari lokasi kantor client, adzan Dzuhur memanggil. Saya mengikuti arah panggilan adzan, dan menepikan kendaraan. Beruntung, sholat dzuhur belum lagi dimulai. Sebagian jamaah masih sholat sunat, sebagian lagi masih berwudhu. Tak banyak jamaah yang sholat. Namun ini bisa dimaklumi. Mungkin sebagian besar warga masih berada di tempat kerja masing-masing.
Alhamdulillah, saya tidak perlu masbuk. Dengan lega saya takbiratul ihram, mengikuti imam. Saya pun membaca bacaan-bacaan sebagai mana mestinya. Doa iftitah, surat AlFatihah, dan surat pendek. Usai saya membaca sholat pendek, ternyata Sang Imam belum selesai dengan bacaannya. Sebagai makmum, saya pun menunggu. Saya mencoba maklum. Mungkin bacaan suratnya memang agak panjang.
Namun, alangkah lama rasanya waktu menunggu itu. Sungguh di atas rata-rata. Ketika akhirnya Sang Imam ruku’, sudah muncul setitik perasaan tak suka di hati saya. Namun ternyata, tak hanya tegaknya yang lama, ruku’nya pun lebih lama ketimbang rata-rata. Bertambah lagi noda hitam di hati saya.
Begitulah seterusnya, sujud, duduk di antara dua sujud, dan gerakan-gerakan lainnya, dilakukan Sang Imam dengan jeda waktu yang membuat konsentrasi saya buyar. Apa sesungguhnya yang dibaca Imam ini? Tak tahukah ia jika bacaannya yang terlalu lama ini bisa merusak konsentrasi makmumnya? Tak pernahkah ia mendengar hadits nabi yang mempersingkat bacaan sholatnya begitu mendengar suara tangis bayi? Bukankah hal ini adalah isyarat bahwa seorang imam harus peka?
Fakta bahwa saya masih harus mencari-cari lokasi kantor client saya turut menambah pekat keruwetan lintasan-lintasan pikiran saya. Begitulah cara kerja pikiran. Tidak bebas nilai, dan cenderung mengikuti saja apa yang kita inginkan. Karena saat itu saya sedang tidak suka dengan sang Imam, dan berkeyakinan bahwa imam itu salah, maka saya memerintahkan pikiran saya untuk mencari-cari berbagai argumen yang dapat menunjang dan membenarkan kejengkelan saya. Maka bermunculanlah berbagai argumentasi yang bahkan terkadang berlandaskan dalil dan nash. Tapi, tak ada yang bisa saya lakukan.
Saya pun mengikuti saja gerakan imam. Tampak seperti patuh, namun sesungguhnya di dalam hati penuh dengan dendam pembangkangan. Memasuki rakaat ketiga, menggeliatlah sang nurani. Mungkin sejak semula ia telah berusaha berkata-kata, mengingatkan, namun terbungkam oleh emosi yang tidak pada tempatnya. Kali ini, mungkin dengan berteriak, pikiran jernih pun pelan-pelan muncul. Mirip cahaya mentari di balik awan pekat yang mulai menyibak, di tiup angin ke segala arah.
Aku pun mulai tenang, dan merasa yakin bahwa pilihan terbaik adalah tetap menjaga kekhusyu’an. Pelan-pelan kesadaran pun muncul. Kesadaran hakiki bahwa saat itu sejatinya saya sedang berhadapan Allah Yang Maha Besar. Sungguh tak pantas jika saya mencak-mencak, meski cuma di dalam hati. Dan, sebagaimana sebelumnya, pikiran pun hanya mengikuti saja kehendak hati. Jika semula beragam alasan negatif telah dimuntahkan, kali ini nilai-nilai positiflah yang dimunculkan, digali-gali dari berbagai lipatan memori di dalam otak.
Mulailah pikiran-pikiran saya mengingatkan bahwa sholat khusyu hanya bisa diperoleh dengan ketenangan. Bahwa ihsan adalah meyakini bahwa Allah melihat kita, dan kita merasa diawasi Allah. Bahwa bacaan ruku dan sujud hendaknya terus diulang-ulang, sampai benar-benar terasa bahwa kita tengah merendahkan diri di hadapan Sang Penguasa Jagat. Bahwa banyaknya bacaan ruku dan sujud tidaklah hanya dibatasi tiga kali sebagaimana selama ini dipahami kebanyakan orang. Jumlah tiga bukanlah komando untuk bangkit ke gerakan berikutnya.
Ketika sholat usai, saya menyempatkan diri menengok ke jam. Tahukah berapa waktu yang dibutuhkan untuk sholat yang terasa seperti selamanya itu? Hanya sepuluh menit! Ya, hanya lima menit lebih lama dari waktu rata-rata! Saya tak tahu apa yang selanjutnya berkecamuk di hati ini. Perasaan malu, bersalah, khianat, berdosa, dan lain-lain. Hanya lima menit lebih lama, mengapa saya begitu kikir?
Inikah orang yang mengaku mencintaiNya, melebihi cinta kepada selainNya? Lima menit tak cukup untuk mengantri di kasir pasar Swalayan. Juga tak akan cukup untuk menunggu antrian martabak keju di malam minggu. Lima menit tak cukup untuk membaca info selebritis tak berguna, atau liputan tak bermanfaat tentang sepakbola. Lima menit terlalu singkat untuk makan siang, apalagi jika sambil ngerumpi dengan teman sekantor.
Namun lima menit yang penuh makna, saat-saat berkomunikasi denganNya, dapat mewarnai hari-hari kita. Saya teringat salah satu hadits, yang kira-kira matannya mengatakan, bahwa jika kita ingin mengetahui bagaimana kedudukan kita di mata Allah, maka bertanyalah kepada diri sendiri, bagaimana kedudukan Allah di hati kita.
Lalu, bagaimana mengukur kedudukan Allah di hati kita? Mungkin jawabannya terletak pada seberapa khusyu-nya kita sholat. Karena sholat khusyu adalah peristiwa di mana kita merasa benar-benar berhadapan dengan Allah. Sebagaimana DIA sendiri mengatakan, yaitu orang-orang yang meyakini pertemuan dengan Rabb-nya, dan meyakini bahwa ia akan kembali kepadaNya.
Dan kata orang-orang yang telah merasakannya, ketika sholat telah khusyu’, terutama ketika sholat malam, maka waktu lima atau sepuluh menit akan terasa sebentar saja.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar