Desember 2011 - BLK ZIS Indosat
Headlines BLK ZIS Indosat :
HASIL SELEKSI BLK ZIS INDOSAT ANGKATAN ke 17 ( Juni - September 2014 ) Silahkan Klik Gambar Pengumuman !!!

Hanya Selisih Lima Menit

Written By BLK ZIS Indosat on Selasa, 20 Desember 2011 | 02.41

Salah satu komitmen saya belakangan ini adalah berusaha untuk sholat tepat waktu, meninggalkan apa pun pekerjaan yang sedang dilakukan, dan bergegas memenuhi panggilan adzan. Walau sering juga gagal, namun saya berusaha untuk tidak kapok.
Ibarat seorang anak yang baru belajar jalan, saya tidak akan kapok hanya karena setiap kali berjalan, saya jatuh terjengkang, terduduk, terjerembab, dan berbagai jenis jatuh lainnya. Saya terus berusaha memenuhi komitmen itu. Mengapa?
Jawabannya rada klasik, yaitu meniru jawaban Baginda Rasulullah SAW, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?” Jawaban lainnya, saya tidak ingin membuat setan bahagia, dengan menimbulkan perasaan putus asa di hati saya, untuk menjadi orang baik. Jadi, saya terus berusaha jatuh bangun untuk menjaga komitmen. Komitmen tersebut juga termasuk ketika berada di perjalanan. Dan ini termasuk yang paling sulit untuk dipenuhi.
Suatu ketika, saat sedang mencari-cari lokasi kantor client, adzan Dzuhur memanggil. Saya mengikuti arah panggilan adzan, dan menepikan kendaraan. Beruntung, sholat dzuhur belum lagi dimulai. Sebagian jamaah masih sholat sunat, sebagian lagi masih berwudhu. Tak banyak jamaah yang sholat. Namun ini bisa dimaklumi. Mungkin sebagian besar warga masih berada di tempat kerja masing-masing.
Alhamdulillah, saya tidak perlu masbuk. Dengan lega saya takbiratul ihram, mengikuti imam. Saya pun membaca bacaan-bacaan sebagai mana mestinya. Doa iftitah, surat AlFatihah, dan surat pendek. Usai saya membaca sholat pendek, ternyata Sang Imam belum selesai dengan bacaannya. Sebagai makmum, saya pun menunggu. Saya mencoba maklum. Mungkin bacaan suratnya memang agak panjang.
Namun, alangkah lama rasanya waktu menunggu itu. Sungguh di atas rata-rata. Ketika akhirnya Sang Imam ruku’, sudah muncul setitik perasaan tak suka di hati saya. Namun ternyata, tak hanya tegaknya yang lama, ruku’nya pun lebih lama ketimbang rata-rata. Bertambah lagi noda hitam di hati saya.
Begitulah seterusnya, sujud, duduk di antara dua sujud, dan gerakan-gerakan lainnya, dilakukan Sang Imam dengan jeda waktu yang membuat konsentrasi saya buyar. Apa sesungguhnya yang dibaca Imam ini? Tak tahukah ia jika bacaannya yang terlalu lama ini bisa merusak konsentrasi makmumnya? Tak pernahkah ia mendengar hadits nabi yang mempersingkat bacaan sholatnya begitu mendengar suara tangis bayi? Bukankah hal ini adalah isyarat bahwa seorang imam harus peka?
Fakta bahwa saya masih harus mencari-cari lokasi kantor client saya turut menambah pekat keruwetan lintasan-lintasan pikiran saya. Begitulah cara kerja pikiran. Tidak bebas nilai, dan cenderung mengikuti saja apa yang kita inginkan. Karena saat itu saya sedang tidak suka dengan sang Imam, dan berkeyakinan bahwa imam itu salah, maka saya memerintahkan pikiran saya untuk mencari-cari berbagai argumen yang dapat menunjang dan membenarkan kejengkelan saya. Maka bermunculanlah berbagai argumentasi yang bahkan terkadang berlandaskan dalil dan nash. Tapi, tak ada yang bisa saya lakukan.
Saya pun mengikuti saja gerakan imam. Tampak seperti patuh, namun sesungguhnya di dalam hati penuh dengan dendam pembangkangan. Memasuki rakaat ketiga, menggeliatlah sang nurani. Mungkin sejak semula ia telah berusaha berkata-kata, mengingatkan, namun terbungkam oleh emosi yang tidak pada tempatnya. Kali ini, mungkin dengan berteriak, pikiran jernih pun pelan-pelan muncul. Mirip cahaya mentari di balik awan pekat yang mulai menyibak, di tiup angin ke segala arah.
Aku pun mulai tenang, dan merasa yakin bahwa pilihan terbaik adalah tetap menjaga kekhusyu’an. Pelan-pelan kesadaran pun muncul. Kesadaran hakiki bahwa saat itu sejatinya saya sedang berhadapan Allah Yang Maha Besar. Sungguh tak pantas jika saya mencak-mencak, meski cuma di dalam hati. Dan, sebagaimana sebelumnya, pikiran pun hanya mengikuti saja kehendak hati. Jika semula beragam alasan negatif telah dimuntahkan, kali ini nilai-nilai positiflah yang dimunculkan, digali-gali dari berbagai lipatan memori di dalam otak.
Mulailah pikiran-pikiran saya mengingatkan bahwa sholat khusyu hanya bisa diperoleh dengan ketenangan. Bahwa ihsan adalah meyakini bahwa Allah melihat kita, dan kita merasa diawasi Allah. Bahwa bacaan ruku dan sujud hendaknya terus diulang-ulang, sampai benar-benar terasa bahwa kita tengah merendahkan diri di hadapan Sang Penguasa Jagat. Bahwa banyaknya bacaan ruku dan sujud tidaklah hanya dibatasi tiga kali sebagaimana selama ini dipahami kebanyakan orang. Jumlah tiga bukanlah komando untuk bangkit ke gerakan berikutnya.
Ketika sholat usai, saya menyempatkan diri menengok ke jam. Tahukah berapa waktu yang dibutuhkan untuk sholat yang terasa seperti selamanya itu? Hanya sepuluh menit! Ya, hanya lima menit lebih lama dari waktu rata-rata! Saya tak tahu apa yang selanjutnya berkecamuk di hati ini. Perasaan malu, bersalah, khianat, berdosa, dan lain-lain. Hanya lima menit lebih lama, mengapa saya begitu kikir?
Inikah orang yang mengaku mencintaiNya, melebihi cinta kepada selainNya? Lima menit tak cukup untuk mengantri di kasir pasar Swalayan. Juga tak akan cukup untuk menunggu antrian martabak keju di malam minggu. Lima menit tak cukup untuk membaca info selebritis tak berguna, atau liputan tak bermanfaat tentang sepakbola. Lima menit terlalu singkat untuk makan siang, apalagi jika sambil ngerumpi dengan teman sekantor.
Namun lima menit yang penuh makna, saat-saat berkomunikasi denganNya, dapat mewarnai hari-hari kita. Saya teringat salah satu hadits, yang kira-kira matannya mengatakan, bahwa jika kita ingin mengetahui bagaimana kedudukan kita di mata Allah, maka bertanyalah kepada diri sendiri, bagaimana kedudukan Allah di hati kita.
Lalu, bagaimana mengukur kedudukan Allah di hati kita? Mungkin jawabannya terletak pada seberapa khusyu-nya kita sholat. Karena sholat khusyu adalah peristiwa di mana kita merasa benar-benar berhadapan dengan Allah. Sebagaimana DIA sendiri mengatakan, yaitu orang-orang yang meyakini pertemuan dengan Rabb-nya, dan meyakini bahwa ia akan kembali kepadaNya.
Dan kata orang-orang yang telah merasakannya, ketika sholat telah khusyu’, terutama ketika sholat malam, maka waktu lima atau sepuluh menit akan terasa sebentar saja.

Hijrah, Asyuro dan Prinsip Perjuangan

Adakah yang menghubungkan antara hari Asyuro (10 Muharram) dan peristiwa Hijrah? Statemen yang  tegas memang tidak ada. Namun jika ditelisik lebih dalam, kedua hal tersebut  ternyata dihubungkan oleh latar belakang historis yang sangat heroik dengan kaitan yang sangat erat. Karena sama-sama menyajikan sebuah manhaj (pedoman) perjuangan yang bersumber dari Dzat yang sama untuk sebuah tujuan yang sama. Walaupun tempat, waktu dan pelakunya berbeda.
Sebagaimana disebutkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahihnya, bahwa hari Asyuro –yang kita disunnahkan untuk berpuasa pada hari tersebut ditambah sehari sebelum atau sesudahnya- adalah hari diselamatkannya Nabi Musa alaihissalam dan para pengikutinya dari kejaran Fir’aun dan balatentaranya.
Namun, apakah Nabi Musa diselamatkan begitu saja dari kejaran Fir’aun tanpa perjuangan sama sekali? Justru pertolongan itu datang pada titik dimana perjuangan dan usaha telah sampai pada puncaknya, seakan-akan tiada lagi daya yang dapat mereka lakukan sehingga kaumnya berkata: “Sungguh kita pasti akan terkejar.” (Asy-Syu’ara: 61)
Sesungguhnya jika diamati secara mendalam, semangat hijrahlah yang menjadi inspirasi perjuangan berat tersebut. Yaitu keinginan kuat membaja untuk meninggalkan segala bentuk kekufuran dan kemusyrikan dan berpindah kepada keimanan dan petunjuk Allah Ta’ala.
Hal ini dalam kontek perjuangan Islam bukan hanya langkah taktis apalagi pragmatis, tapi lebih dari itu, dia merupakan manhaj dan pedoman baku bagi setiap muslim yang ingin menegakkan Islam dalam kehidupannya, terlepas apa dan bagaimana pendekatan yang dilakukan. 

Pedoman inilah yang telah Allah gariskan kepada Nabi Musa alaihissalam dalam perjuangannya melawan tirani Fir’aun:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): “Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.” (Ibrahim: 5)
Pedoman ini pula yang Allah Ta’ala gariskan kepada Rasulullah saw dalam perjuangannya;
“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang…” (Ibrahim: 1)
Karenanya kita dapatkan alur kisah perjuangan Rasulullah dan para shahabatnya memiliki kemiripan dengan apa yang dialami oleh Musa alaihissalam dan kaumnya; Awalnya sangat lemah, tertindas, terintimadasi, namun keteguhan dan tekad meninggalkan segala bentuk kekufuran dan berpindah kepada hidayah Allah tidak lagi dapat terbendung walaupun harus mengakibatkan mereka angkat kaki meninggalkan negeri sendiri, hijrah untuk menyelamatkan keimanannya, dan kemudian berakhir dengan kejayaan dan kemenangan kaum muslimin serta terjungkalnya sang penguasa tiran beserta kebesaran yang selama ini diagungkannya.
Sebuah kondisi yang tampaknya telah menjadi skenario paten dalam hal pertarungan antara hak dan batil ketika prinsip dan pedomannya dipegang teguh oleh mereka yang berada di pihak yang haq.
Kesamaan manhaj dan tujuan perjuangan inilah yang mendorong Rasulullah saw mematahkan prinsip primordial (kesukuan) kaum Yahudi pada masanya yang beriman kepada Nabi Musa berdasarkan ras dan suku. Ketika Rasulullah SAW mengetahui bahwa mereka juga berpuasa pada hari Asyuro karena mengikuti Nabi Musa yang berpuasa pada hari itu sebagai rasa syukur kepada Allah Ta’ala atas diselamatkannya dia dan kaumnya dari kejaran Fir’aun, dengan tegas beliau saw menyatakan: “Aku lebih berhak mengikuti Musa dibanding kalian!” Lalu beliau berpuasa dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa. (Bukhari Muslim)
Maka, sejatinya semangat hijrah untuk meninggalkan kekufuran, kemusyrikan, kemaksiatan dan berbagai prilaku yang bertentangan dengan ketentuan Allah Ta’ala dan kemudian kembali kepada ajaran-ajaran-Nya yang penuh hikmah dan kemuliaan harus menjadi muara dari setiap langkah perjuangan kaum muslimin, kapan dan dimana pun mereka berada dan apapun bentuk perjuangannya. Baik yang berjuang lewat jalur pendidikan, ekonomi, sosial maupun politik. Karena, tanpa semangat ini maka setiap perjuangan yang telah diupayakan –cepat atau lambat- akan mengalami penyusutan nilai, kalau tidak malah terseret oleh arus yang dilawannya sendiri. Tidak jarang kita dapatkan sejumlah kalangan yang berjuang lewat jalurnya masing-masing, namun di tengah perjalanan ternyata apa yang mereka perbuat tak jauh berbeda dari apa yang dahulu dia tentang, kecuali label dan beberapa atribut yang masih membedakannya.
Dari sini, kita dapat memahami, mengapa Umar bin Khattab ra -dengan disetujui oleh para shahabat yang masih hidup pada masa kekhalifahannya- menjadikan peristiwa Hijrah Rasulullah sebagai patokan untuk mengawali penanggalan Islam yang karenanya dikenal sebagai penanggalan Hijriyah. Beliau tidak memilih hari kelahiran Rasulullah SAW sebagaimana orang-orang Nashrani memilih hari kelahiran Isa Al-Masih sebagai momen untuk menetapkan awal penanggalan Masehi. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa hijrah dengan pemahaman luas merupakan prinsip perjuangan yang sangat vital dalam menentukan keutuhan sebuah perjuangan.
Maka, sekaligus menghidupkan puasa Asyuro, hendaklah kita kenang kembali peristiwa-peristiwa heroik perjuangan umat Islam berdasarkan manhaj dan prinsip yang telah digariskan sembari berupaya meneladaninya, sehingga kita dapat berharap agar ‘ending' dari skenario pertarungan antara yang haq dan batil dapat segera terwujud di hadapan kita seberapa pun besarnya kekuatan kebatilan yang ada. Karena apa yang selama ini disebut sebagai ‘kekuatan besar’ atau ‘kekuatan adidaya’, tak lebih merupakan image yang ingin dipaksakan untuk ditelan oleh kaum muslimin agar mereka tidak banyak berbuat dan berupaya maksimal untuk meruntuhkannya.
“Dan ingatkanlah mereka pada hari-hari Allah.” (QS. Ibrahim: 5).

BLK ZIS Indosat

More on this category »

Oase Iman

More on this category »
Diberdayakan oleh Blogger.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BLK ZIS Indosat - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger